Sunday, January 9, 2011

Risiko Menikah Atau Risiko Berzina?


Bila kita beralasan ada pelbagai risiko yang harus dipikul setelah menikah, risiko gangguan pelajaran, risiko kewangan saraan hidup, risiko pelaksanaan tanggungjawab dan bermacam-macam lagi risiko melintasi fikiran. Bukankah hidup membujang juga punya segudang risiko? Bahkan risikonya lebih besar. Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan. Hidup kita, menanggung sebuah risiko. Mati pun risiko. Belajar juga punya risiko. Tidak belajar lebih-lebih lagi berisiko. Yang tidak ada risikonya adalah kita tidak wujud di dunia. Tetapi kalau kita berfikir bagaimana mahu lari daripada risiko, itu penyelesaian yang mustahil.

Bila ternyata segala sesuatu ada risikonya, besar atau kecil, mengapa kita tidak segera melangkah kepada sikap yang risikonya lebih baik? Mengapa tidak memilih risiko yang lebih ringan? Sudah tentu bahawa risiko pernikahan lebih baik daripada menanggung risiko terlibat dengan penzinaan. Kerananya Allah mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan. Sunnatullah, menciptakan setiap sesuatu berpasang-pasangan. Dengan melanggar sunnah itu bererti kita telah meletakkan diri pada posisi bahaya. Besar risikonya kerana fitrah manusia diciptakan sejajar dengan sunnah tersebut. Melanggar sunnah ertinya menentang fitrahnya sendiri.

Mengisi fitrah dengan pergaulan bebas dan berzina?
Mustahil, Allah mengajar kita mengisi fitrah dengan mengikat dengan tali yang Allah ajarkan, iaitu pernikahan. Kerana itulah Allah memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat adalah menurut perintah Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih daripada daripada bimbingan Allah. Penzinaan dan pergaulan bebas adalah proses penentangan terhadap fitrah. Terbukti bahawa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya harga diri sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri. Berapa ramai ibu-ibu yang membuang janinnya ke semak, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya kerana merasa malu menggendong anaknya dari hasil zina. Fikirlah, yang mana lebih berisiko.

Manusia perlu makan untuk hidup, jika tidak pasti risiko besar menimpanya. Seperti keperluan manusia terhadap makanan, manusia juga perlu untuk menikah. Persoalannya, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kita tanya kembali, mengapa bertanya demikian? Bagaimana kalau melihat orang lain yang ternyata setelah menikah hidupnya lebih tenang dan senang? Berzina pun bukan bererti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggungjawab yang kalau ditimbang-timbang dengan akal yang sihat, tidak kalah beratnya dengan tanggungjawab pernikahan.

Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah kehidupan yang harus dilalui dalam keadaan apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Memenuhi fitrah sebagai manusia. Saya fikir, pernikahan tidak lagi boleh menjadi solusi alternatif setelah 'kantoi' terjebak dalam penzinaan demi menutup aib dan malu. Cadangannya, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai beban” kepada “pernikahan sebagai ibadah dan penyelesaian”.

Pelik, mengapa perlu wujud 'tangan-tangan' yang menghalang pernikahan dengan beralasan ada risiko yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan lebih besar dan lebih parah risikonya?

Seja o primeiro a comentar

Post a Comment

...lukisan dihati... © 2008. Template by Dicas Blogger.

TOPO